Tumbilo Tohe, Tradisi Masyarakat Gorontalo 3 Malam Terakhir Lailatul Qodri
Tradisi Menjelang Idul Fitri
Gambar : Tumbilo Tohe (sumber https://rgol.id)
Tumbilo tohe merupakan tradisi turun temurun masyarakat Gorontalo berupa memasang lampu di halaman rumah-rumah penduduk dan di jalan-jalan terutama jalan menuju masjid yang menandakan berakhirnya Ramadan. Perayaan ini dilakukan pada 3 malam terakhir menjelang hari raya Idul Fitri. Pemasangan lampu dimulai sejak waktu magrib sampai menjelang subuh.
Tumbilo tohe itu sendiri berasal dari bahasa Gorontalo, yang terdiri dari dua yaitu tumbilo dan tohe. Tumbilo berarti memasang, dan tohe berarti lampu.
Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama yaitu sekitar abad ke-15. Pada masa itu penerangan masih berupa wango-wango, yaitu alat penerangan yang terbuat dari wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar. Tahun-tahun selanjutnya, alat penerangan mulai menggunakan tohe tutu atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Kemudian berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dengan bahan bakar minyak kelapa, dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong dua, dan disebut padamala.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka bahan lampu buat penerangan di ganti minyak tanah hingga sekarang ini. Bahkan untuk lebih menyemarakkan tradisi ini sering ditambahkan dengan lampu listrik.
Budaya turun temurun ini menjadi ajang hiburan masyarakat setempat. Malam tumbilo tohe benar-benar ramai, bisa di bilang festival paling ramai di Gorontalo. Saat tradisi tumbilo tohe di gelar, wilayah Gorontalo jadi terang benderang, nyaris tak ada sudut kota yang gelap. Gemerlap lentera tradisi tumbilo tohe yang digantung pada kerangka-kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning atau dikenal dengan nama Alikusu (hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda) menghiasi wilayah Gorontalo. Di atas kerangka di gantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut hari raya idulfitri.
Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung Ramadhan di Gorontalo, sangat diyakini kental dengan nilai agama. Dalam setiap perayaan tradisi ini, masyarakat secara sukarela menyalakan lampu dan menyediakan minyak tanah sendiri tanpa subsidi dari pemerintah. Tanah lapang yang luas dan daerah persawahan di buat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar masjid, kitab suci Alquran, dan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. Tradisi tumbili tohe juga menarik ketika warga Gorontalo mulai membunyikan meriam bambu atau atraksi bunggo dan festival bedug.
Tumbilo tohe merupakan salah satu kekayaan budaya yang unik di Gorontalo. Walaupun di daerah sekitar Gorontalo ada festival serupa, seperti di Bolaang Mongondow Utara, dalam bahasa Kaidipang dan Bintauna dikenal dengan "Maninjulo Lambu". Di Bolaang Mongondow Selatan, dalam bahasa Bolango dikenal dengan "Sumpilo Soga", Sementara itu di Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Timur dan Kota Kotamobagu dikenal dengan istilah "Monuntul" yang berasal dari bahasa Mongondow dan di Dumai dan Bengkalis ada "Festival Lampu Colok" tapi tidak sesemarak di Gorontalo.
Sumber : https://id.wikipedia.org